Mengulang Kisah "Gelombang Cinta" Bunga Harga Fantastis

Minggu, 16 Oktober 2016


Sebuah fenomena pernah diciptakan anthurium di tahun 2007. Keberadaannya mengguncang pasar tanaman hias di negeri ini. Deretan tanaman hias dan bunga yang sebelumnya menjad primadona incaran para hobiis dan kolektor, tiba-tiba langsung tiarap tanpa daya dibawah pengaruh Si Raja Daun ini. Bagaimana tidak. Sebuah Anthurium jenmanii kobra 20 daun terjual seharga Rp260 juta, bahkan sebuah Anthurium supernova bisa terjual seharga Rp1 miliar. Mengapa demikian?

Berkibarnya anthurium menjadi sebuah fenomena tanaman hias di tahun 2007 sangat diluar dugaan. Kendati pernah menjadi buah bibir di era 1900-an, tapi kehadiran Si Raja Daun saat itu tidak se-spektakuler saat muncul kembali di pertengahan tahun 2006. Dengan hitungan jam, ternata harga sebuah anthurium berjenis sama mampi bergerak 3 kai lipat.

Kondisi itu dalam pandangan Ir. Debora Herlina MS — fisiologi tanaman hias, bukan terbangun oleh kondisi natural pasar. Namun terjadi lantaran sebuah skenario bisnis yang telah disiapkan sekelompok pedagang, yang tujuanya hanyalah untuk mencari duit dengan membangun sebuah pasar anthurium yang fenomenal. Atmosfer itu terbaca dari putaran anthurium mahal diantara para pelaku pasar atau kolekdol dengan harga yang terus meningkat.

”Menyilang atau membudidayakan anthurium itu pekerjaan yang gampang. Tanpa dilengkapi sebuah ilmu tentang teknik pembudidayaan anthurium pun, siapa pun bisa melakukannya dan peluang berhasilnya cukup besar. Namun mengapa harga di pasaran bisa tak mauk akal?” kata Deborah sembari geleng-geleng kepala.

Dengan atmospher bisnis anthurium yang sangat diluar dugaan itu, maka wanita bertubuh subur ini sangat yakin tentang keterlibatan spekulan tanaman hias. Membangun sebuah pasar anthurium yang fenomenal dengan tujuan jauh dari keinginan melestarikan keberadaan anthurium. Tujuan para spekulan tersebut tak lain hanyalah untuk mencari keuntungan berlipat.

Tak pelak lagi, dampak dari ikut bermainnya para spekulan tanaman hias itu, maka sebuah persaingan tidak sehat terjadi. Sebuah penipuan dan pemalsuan pun berkembang subur. Biasanya yang terjadi adalah penipuan pada anthurium yang harganya mahal seperti gelombang cinta. Modus operandinya para pemalsu/ penipu itu menjualnya dalam bentuk biji atau bibitan yang baru punya 3 daun. Misalnya bibit hookeri ditawarkan sebagai bibit gelombang cinta lantaran kemiripan karakteristik. Sehingga harga bibit hookeri tersebut dapat dijual berlipat kali. Sasaran penipuan umumnya para hobiis dan kolektor pemula.

Kondisi salah kapra yang dibangun para spekulan itu kian berkembang, setelah banyak media tanaman ikut berperan. Dengan perilaku informasi yang melebih-lebihkan, baik dari segi harga maupun pemberian nama hasil silangan anthurium. Dampaknya pun harga menjadi tidak normal. Juga, banyak sebutan-sebutan jenis anthurium yang dinamakan sesuai dengan keinginan penyilangnya.

“Seharusnya media massa tidak melakukan pembohongan publik, paling tidak wartawan harus bisa mengambil nara sumber yang benar-benar tahu tanaman, dan kalau bisa antara narasumber dan wartawan sama-sama belajar mengenai tanaman. Orang-orang anthurium tidak main tanaman tapi main duit,” ujarnya.

Sedangkan Dr. Madiyanto -dewan pakar KAI (Komunitas Anthurium Indonesia), berkomentar, tidak bisa dilakukan vonis sama rata terhadap perkembangan anthurium di peta tanaman hias Indonesia. “Kalau dilihat dari sudut pandang akademisi memang fenomena anthurium ini merupakan hal tidak masuk akal. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang bisnis, kondisi ini sangat menguntungkan. Sebab kondisi yang terjadi itu membuat banyak orang terangkat ekonominya,” katanya.

Dengan dampak positif atas strata ekonomi itu, dikatakan, berpeluang meningkatkan kepercayaan diri sebagian besar pelaku tanaman hias untuk berupaya memajukan tanaman hias yang digeluti. Sudah terbukti masyarakat kita mampu memberikan apresiasi yang baik terhadap hasil kerja keras bangsa sendiri.

Madiyanto saat ditemui di Wonogiri mengatakan, fase anthurium terdiri dari fase perbanyakan dan penyebaran. Hal ini terjadi sepanjang tahun 2007. “Ditahap ini harga sulit terkontrol, karena ada beberapa spekulan besar yang bermain disini. Selain banyak yang diuntungkan, juga yang dirugikan dalam fase ini.,” tambahnya.

Fase kedua yaitu fase krusial dimana harga anthurium terkoreksi dan terjadinya mekanisme pasar yang mulai pandai menilai tentang jenis anthurium yang akan dibeli. Sehingga banyak hobiis menahan untuk membeli anthurium, karena banyak kemungkinan terulangnya di fase pertama tadi. ”Artinya masyarakat mulai tahu dan memilih anthurium yang akan dibelinya, sehingga harga anthurium mulai terkoreksi dan disini pasar yang menentukan harga,” ujar pejabat Direktur Rumah Sakit Marga Husada Wonogiri.

Disamping itu KAI sendiri sangat sulit mengontrol harga yang terjadi, tapi dengan terkoreksinya harga tadi akan mebuat semakin banyak in-user yang bisa membeli anthurium. Sampai saat ini harga bibit di pameran untuk bibit gelombang cinta berkisar Rp5 ribu sampai Rp10 ribu. Padahal dahulunya bisa mencapai Rp35 ribu sampai Rp50 ribu, bahkan bisa mencapai Rp100 ribu.

“ Pada fase ini merupakan tugas berat buat KAI untuk tetap menumbuhkan rasa cinta bagi para hobiis untuk selalu mencintai anthurium. Seharusnya pengembang anthurium tidak murni berjiwa dagang saja, tapi harus terus membudidayakan anthurium,walau harga terkoreksi. Dan yang akan bertahan merasakan nikmatnya adalah orang yang benar-benar serius dan mencintai anthurium,”ujar bapak dua putra ini.

Ia menambahkan bahwa terkoreksinya harga anthurium merupakan siklus tanaman hias yang wajar terjadi. Sedangkan untuk fase yang ketiga adalah fase dimana kita bisa menembus pasar ekspor. Dari segi kualitas anthurium, baik dari segi ketebalan daun dan sosok keanggunan Si Raja Daun dalam negeri, diakui, lebih baik dibandingkan dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand maupun Philipina.

Sebenarnya dari sisi penurunan harga, bagi yang ingin berbisnis justru saat inilah mereka berburu anthurium. “Bagi pebisnis sejati seharusnya harus mempunyai feeling kapan akan membeli, kapan menahan barang, kapan saatnya memainkan pasar dan kapan waktunya menjual,” katanya. – Majalah Kembang Edisi 10